Rabu, 15 April 2015

Alasan Berhenti

                
                Di bulan Maret 2014 gue sempat memutuskan untuk berhenti ngeblog. Banyak alasan yang melatarbelakangi keputusan gue itu. Salah satunya yang paling berat mungkin karena gue belum cukup siap menghadapi teror ‘haters’ dimasa itu. Gue baru saja menikah satu bulan sebelumnya, orang-orang menanyakan hal-hal pribadi seperti bagaimana kami menikah, bagaimana kami mendapat restu orangtua, bagaimana rumah tangga kami berjalan dan masih banyak lagi. Dan saat itu gue belum siap untuk berterus terang. Tolong jangan berpikiran negatif, gue hanya menjaga perasaan keluarga dan terutama orangtua gue. Tentu gue sangat ingin berbagi cerita perjuangan kami dulu seperti apa, namun gue rasa kurang bijak jika sesaat setelah gue membuat orangtua berderai airmata lalu gue memuat cerita tentang bagaimana cerita dibaliknya. Jadi gue memilih diam dan membiarkan orang lain berpendapat sesuka hati mereka.

                Tidak bisa dipungkiri, setelah gue mulai ngeblog dan (lucky me) punya cukup banyak pembaca setia, kehidupan gue seakan menjadi penting untuk digali. Gue ngerokok dan pergi clubbing sudah jauh lama sebelum gue ngeblog. Tidak ada complainbahkan dari Mahe sekalipun. Begitu gue ngeblog dan pembaca tau gue perokok, semua menjadi penting. Chat line kebanyakan berisi,
                “Kak kenapa sih ngerokok?”
                “Kak kenapa sih clubbing?”
                Hingga,
                “Aku kira Kakak tuh cewek baik-baik, ternyata Kakak cewek gak bener.”
                Ada yang perlu gue jelaskan disini. Standar cewek baik-baik menurut gue pribadi sangat sederhana. Mau perokok, mau minum alkohol, mau jadi pelacur pun, asal tidak merugikan dan menyakiti orang lain, menurut gue itu masih digaris kata ‘baik-baik’. Gue punya beberapa temen yang ‘jualan’. Dan gue sangat anti untuk sok-sok menasehati hidup ataupun jalan yang mereka pilih. Yang jelas gue selalu bercerita bahwa gue punya pengalaman masa kecil tidak menyenangkan dengan wanita ketiga, sehingga gue tidak pernah mau menjadi pengganggu rumah tangga orang. Itulah alasan gue tiap kali mereka memberi penawaran untuk punya pendapatan lebih.
                Gue merokok. Gue minum alkohol. Tapi gue anti memakai obat-obatan terlarang, bahkan selevel inex-pun tidak. Dan yang paling penting, tidak sekalipun gue pernah berpikir untuk berhubungan dengan suami orang semata-mata demi rupiah dari dompet tebal mereka. Jadi wajar bukan gue tidak terima dengan pendapat ababil-ababil yang hampir setiap hari chat line gue demi memberi wejangan-wejangan yang menurut gue salah sasaran itu.
                Belum lagi setelah menikah, gue tertutup dengan prosesi pernikahan gue. Setiap kali ada yang bertanya, gue selalu menjawab bahwa itu urusan pribadi gue yang tidak ingin orang lain tahu. Orang-orang mengira kami menikah beda agama. Mulai meneror gue kembali lewat kolom komentar di blog maupun viat chat line. Bahkan beberapa kali gue mendapat telfon tengah malam yang tidak jelas apa maksud dan siapa penelfonnya.
                Gue depresi. Antara menjaga perasaan keluarga atau menabahkan diri dengan omongan orang. Disatu sisi, jika saat itu gue menulis bahwa gue sudah resmi menjadi mualaf, keluarga gue yang masih baru saja gue buat menangis akan semakin sakit hati. Meski kenyataannya memang benar begitu adanya, namun tetap saja perasaan bersalah itu menghantui gue. Gue tidak bisa membayangkan ketika Ibuk ikut arisan di sekolahnya kemudian salah seorang temannya yang (ternyata cukup banyak) pembaca blog gue berkomentar,
                “Oh jadi si Ugek sekarang sudah mualaf Buk?”
                Atau misalnya ketika Bapak sedang nyupir dan kernetnya (anak kernet Bapak itu pembaca blog gue juga) nyeletuk,
                “Jadi ke Jakarta kemarin acara nikahan Ugek secara Islam ya?”
                Saat itu orangtua gue belum sepenuhnya iklas menanggapi komentar orang. Jadi gue memutuskan untuk diam dan tutup mulut. Sayangnya itu memicu haters untuk meneror gue dengan berbagai makian yang menurut gue tidak pantas. Beberapa mengatakan bahwa gue kafir, bahwa gue najis, dan bla bla bla. Mungkin bagi kalian yang membaca akan berpikiran bahwa yang gue alami saat itu tidak sulit. Ah, seandainya kalian merasakan sendiri beban itu.
                Karena gue tidak sanggup lagi, maka gue memutuskan untuk berhenti ngeblog. Gue mengganti id line. Mengganti nomor handphone. Berusaha mencari ketenangan. Gue ingin mengawali pernikahan gue dengan kebahagiaan, bukan depresi karena bingung menentukan pilihan. Dan itulah alasan kenapa gue sempat berhenti tahun lalu. Gue akan melanjutkan alasan gue kembali ngeblog besok.

                Terima kasih.