Selasa, 14 April 2015

Berjuang Untuk Yang Pantas Diperjuangkan

            



            Malam ini gue baru saja kelar nonton film garapan Hanung Bramantyo yang berjudul Cinta Tapi Beda. Gue sukses dibuat bercucuran air mata, dan temen gue, si Dara Buncit (buat para pemerhati instagram gue pasti tau deh siapa mahluk satu itu) gak kalah heboh. Doi mewek sambil jugling botol smirnoff. 

            Ehm. Serius. Postingan kali ini sebenernya gue maksudkan agak sendu. Mengingat selama dua setengah tahun gue agak tertutup mengenai perjuangan gue dari jaman pacaran hingga akhirnya berhasil menikah. Banyak orang mengira gue dan Maherda kawin lari. Ya iya. Bagaimana bisa, seorang gadis Bali dari keluarga Hindu fanatik menikah dengan seorang pria muslim? Jadi begini.
            Awal hubungan kami memang sudah mendapat penolakan dari keluarga gue. Terutama orangtua. Selama satu tahun kami berpacaran gue masih belum bisa meluluhkan hati Bapak dan Ibu untuk merestui hubungan kami. Padahal waktu itu gue cuma ijin pacaran, sama sekali belum ada niatan menikah dan apa lagi punya anak.
            Gue mulai hopeless dan merasa buang-buang waktu. Mana tega gue denger Ibuk nangis-nangis ditelfon dan nuduh gue mau pergi ninggalin keluarga? Dengan berat hati gue memutuskan hubungan dengan Maherda.
            Tanpa sepengetahuan gue, keesokan harinya Maherda pergi ke Bali sendirian. Menemui keluarga gue. Berbekal alamat singkat dan nama kedua orangtua gue, Mahe berhasil menemukan rumah gue yang ada di pelosok gang. Insting supir taksinya sangat berguna saat itu.
            Maherda berjuang dan gue dengan egois menyerah dengan gampangnya. Setelah hari itu, meski masih belum mendapat restu, gue dan Maherda kembali bersama dan membangun kembali komitmen dari awal. Kami beribu kali lebih serius dalam hubungan ini. Maherda bernegosiasi dengan keluarganya dan gue bernegosiasi dengan keluarga gue. Kami berniat untuk menikah.
            Tidak ada satupun dari kami yang mau mengalah, atau lebih tepatnya, tidak satupun dari kami yang bisa mengalah. Maherda adalah anak sulung, laki-laki satu-satunya. Gue anak bungsu perempuan satu-satunya.  Masing-masing keluarga berat melepaskan kami begitu saja. Seolah kebahagiaan kami adalah derita bagi mereka.
            “Kakakmu udah pergi ninggalin Ibuk, Gek. Kok kamu tega mau ninggalin Ibuk juga?’
            “Ya Ugek Cuma pengen bahagia, Buk. Sekali aja. Ugek berkorban gak kuliah. Ugek merantau. Ugek pengen punya keluarga dengan pilihan Ugek sekarang. Ibuk ga mau lihat Ugek bahagia?”
            “Coba dibalik, Gek. Kamu ga mau lihat Ibuk bahagia?”
            Gue kehabisan kata-kata. Setelah berseteru dan saling diam beberapa bulan. Akhirnya gue menyerah dan mengirimi Ibu sebuah pesan singkat.
            ‘Ya sudah Buk, Ugek nyerah. Ugek gak akan menikah tanpa restu dari orangtua. Tapi Ugek gak akan pernah bisa pisah dari Mas Maherda. Sebisa mungkin Ugek akan membuat Ibuk bahagia, tanpa mengorbankan kebahagiaan Ugek juga. Mudah-mudahan Ibuk bisa mengerti. Kalian berdua ada di posisi terpenting dalam hidup Ugek saat ini.’
            Beberapa hari Ibuk masih diam. Bapak lebih lagi. Namun suatu hari, sebuah pesan singkat masuk membawa setitik harapan dalam hubungan kami yang kelam.
            ‘Bawa calonmu kerumah. Sama kamu. Kita bicarakan di rumah.’
            Maka di bulan September 2013 gue dan Maherda ke Bali dan membicarakan semuanya. Maherda melamar gue di hadapan Ibuk dan Bapak yang masih terlihat berat melepas putri semata wayangnya. Gue mengumpulkan keberanian. Maherda menggenggam tangan gue dan menatap gue dengan mata teduhnya. Dengan tegas gue berkata,
            “Buk… Pak… Ijinkan Ugek untuk menjadi mualaf.”
            Suasana berubah semakin tidak mengenakkan. Ibuk menangis kencang bahkan hingga terjatuh dari kursi meja makan. Bapak membopong Ibuk dan melarang gue masuk kamar. Gue menunggu di dapur dan mengutuki diri gue sendiri sebagai anak yang durhaka. Bertahun-tahun dibesarkan dengan keringat, dengan jerih payah yang tak mudah bagi mereka saat mencari nafkah, saat gue dewasa, dengan mudahnya gue meruntuhkan hati dan kebanggaan mereka.
            Keesokan harinya, kami kembali berbicara. Kali ini kami kerumah Kakek di Tabanan. Beliau adalah seorang pemimpin agama yang demokratis. Kakek membantu memuluskan jalan kami dengan menerangkan ke Ibuk mengenai toleransi beragama. Gue meyakinkan bahwa meskipun gue pindah, selamanya gue adalah anak Ibuk dan Bapak, selamanya gue adalah orang Bali, dan tidak ada seorangpun yang bisa mengubah kenyataan itu. Maherda berjanji tidak akan mengubah apapun dari hubungan kekeluargaan kami. Gue bisa tetap pulang kerumah, bisa tetap merayakan Nyepi, bisa tetap menemani keluarga bersembahyang. Tidak akan ada yang berubah kecuali lingkar keluarga kami yang semakin membesar.
            Ibuk masih belum mengiyakan rencana gue untuk menikah, apalagi menjadi mualaf. Beliau berusaha mengajak kami ke kantor PHDI (Persatuan Hindu Dharma Indonesia) dan menanyakan apakah ada jalan agar gue tidak perlu menjadi mualaf. Sayangnya tidak. Mereka menganjurkan Maherda untuk pindah agama ke Hindu yang dengan segera didukung oleh Ibuk. Mahe tidak menunjukkan ekspresi keberatan, namun ia juga tidak mengiyakan.
            Kami bahkan sempat bersembahyang bersama di Uluwatu. Mengenalkan Maherda tentang agama yang kami anut selama ini. Perlu diakui bahwa toleransi Maherda terhadap umat lain sangatlah tinggi. Melihat sikapnya, melihat perjuangannya, melihat cintanya, gue memantapkan diri untuk kembali menegaskan kepada Ibuk. Apa tujuan awal dari pertemuan kami.
            “Cukup Buk… Ugek sudah nyerah. Tidak akan ada pernikahan. Tapi yang jelas kami akan tetap berhubungan. Itu adalah keputusan Ugek yang Ugek mohon, tolong dihormati. Ugek sayang Ibuk, sayang Bapak, maka dari itu kami berdua berjuang demi restu kalian berdua.”
            Dan akhirnya. Setelah melalui pembicaraan panjang, isak tangis yang berbalas-balasan, beribu ucapan maaf, dengan ikhlas Ibuk dan Bapak merestui keputusan kami.
            “Biarlah Nak, dosa ini Ibuk dan Bapak tanggung di akhirat, asalkan kalian bahagia.”
            Ucap mereka akhirnya. Tidak bisa diungkapkan rasa bahagia gue saat itu. Perjuangan kami membuahkan hasil yang manis. Kami mulai merencanakan detail pernikahan yang memang sengaja diminta untuk sederhana dan tertutup. Gue menghormati perasaan kedua orangtua gue yang belum siap menghadapi omongan keluarga besar, omongan orang desa tentang putri mereka yang pindah agama.
            Dan Maherda membuat keputusan yang mengejutkan. Ia meminta restu untuk menikah secara Bali lebih dahulu. Tentu saja keluarga gue menyambut baik keinginan Maherda. Ibuk tetap bisa merayakan upacara pernikahan putrinya dalam adat Bali meskipun berikutnya gue pindah agama dan menikah sah secara Islam. Di Bali kami memakai prosesi adat Bali, di Jakarta kami melakukan ijab qobul.

            Singkat cerita, di tanggal 23 Februari 2014 kami menikah di rumah keluarga Maherda di Kalibata. Tidak ada foto prewedding, tidak ada gedung pernikahan, tidak ada band pengiring ataupun acara hiburan selayaknya pernikahan idaman lainnya. Kami menikah dengan sederhana dan khidmat.
            Hanya satu yang saat itu mengganjal hati gue. Sesaat sebelum akad nikah, Bapak menangis.
            “Bapak masih hidup begini tapi gak boleh menikahkan anaknya sendiri. Hanya karena Bapak bukan muslim, dan Bapak harus digantikan dengan wali hakim. Bapak iklas, Nak. Cuma sedih…”
            Gue kembali tersedu-sedu. Perias gue hingga kerepotan harus merapikan riasan gue yang hancur karena air mata. Sempat ada keinginan untuk membatalkan saja akad nikah kemarin. Toh gue belum sah secara negara. Namun lagi-lagi Maherda menenangkan Bapak dan berkata bahwa meskipun Bapak diwakilkan dengan wali hakim, tetap restu Bapaklah yang membukakan jalan bagi kami di pernikahan ini.
            Tidak terasa sudah setahun berlalu dan baru malam ini gue bersedia menceritakan kisah dibalik pernikahan gue dan Maherda. Selama ini gue menyimpan cerita tersebut sehingga orang-orang mengira jalan pernikahan kami mulus dan tanpa hambatan. Kami berjuang dan masih akan terus berjuang. Untuk beradaptasi, untuk bertoleransi, untuk mengerti dan selalu mencintai. Semoga pasangan yang berbeda keyakinan seperti kami bisa mendapat hikmah dari cerita ini. Bahwa kalian wajib berjuang jika hubungan kalian adalah sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan.
            Terima kasih.