Edisi Sakit Hati
‘Lo pernah sakit hati gak sih, Din?’ adalah sebuah pertanyaan yang (anehnya) sering banget ditanyain sama temen-temen gue. Of course I do! Bahkan kalau boleh jujur, gue ‘cukup’ sering sakit hati. Salah satu pengalaman sakit hati yang paling berkesan sepanjang hidup gue adalah saat gue baru beberapa minggu resmi menjadi seorang pramugari.
Sebut saja dia Bunga… sikbentar. Ganti lah, gue bisa disangka lesbiola punya mantan pacar namanya girlie begitu. Hm… Sebut saja dia Faiz. Jadi sang tersangka saat itu tercatat sebagai siswa salah satu sekolah penerbang di Jakarta. Gue pacaran sama dia dari jaman gue ground training sampai kemudian flight training. Dan dalam jangka waktu pacaran yang gak lama-lama amat itu, frekuensi kami ribut jauh lebih sering dibanding gempa bumi di Jepang. Ributnya pun heboh banget, pake acara jambak-jambakan, banting-bantingan, cakar-cakaran sampai kuda-kudaan. Eh?
Anehnya, meski lebih sering berantem daripada rukunnya, gue masih aja betah maafin Faiz. Mungkin karena kemampuan ngegombalnya yang sakti mandraguna, entahlah. Yang jelas setiap kali kami berantem, Faiz bakal nelfon gue buat minta maaf dan memberikan kata-kata mutiaranya seperti ‘I love you even for afterlife’, ‘No one loves you more than me’, atau ‘I better die rather than lost you in my life’ yang belakangan gue tau kalimat itu ternyata diambil dari kartu-kartu ucapan hari valentine.
Alhasil gue pun resmi mutusin si Faiz karena ngerasa capek dengan gaya pacaran kami yang aneh. Orang dimana-mana pacaran mah akur, lah kita? Tiap ketemu bawaannya pengen ngebacok. Tiap ngedate gue bawa golok buat jaga-jaga, siapa tau gue emosi kan?
“Sini lo, biar gue belek buat qurban!”
Tapi setelah prosesi suci pemutusan hubungan itu anehnya kami masih dekat. Meski dia orang yang menyebalkan dan selama kami berpacaran kami selalu bertengkar, entahlah, ada sesuatu yang buat gue selalu kangen sama dia. Saat itu gue tau dia ngegebet senior gue dan dia tau gue udah deket sama cowok lain. Awalnya gue fine-fine aja dia jalan sama senior gue, sampai kemudian gue tau siapa tepatnya senior gue itu.
Namanya Fero. Senior beda sebatch di maskapai yang sama dengan gue. Gue gak bakal sesakit itu kalau saja si Fero ini cewek normal. Yang bikin gue sesek adalah kenyataan bahwa dia seorang : lesbi! Meeenn, mantan pacar gue pacaran sama lesbi?! Dia bisa semudah itu move on dari gue hanya karena seorang lesbi? Kemana janji ‘I love you forever after’ yang saban hari lo BBM-in buat gue? Gue rasa ancur dibor dildo sama tuh lesbi.
Perasaan gue gak karuan, antara gak rela dan penasaran. Bukan penasaran buat three-some loh ya karena jujur aja kondisi ini mengingatkan gue sama video porno dimana pemerannya satu cewek normal, satu cewek lesbi dan satu cowok gak jelas doyan yang mana. Akhirnya gue pun kembali intens berhubungan dengan Faiz demi menyingkirkan si lesbi dari sisi Faiz.
‘Enyahlah kau dan dildomu!’
Gak disangka Faiz menyambut baik setiap telfon atau SMS yang gue kirim. Kami kembali dekat, tapi bedanya insting predator gue setiap kali ketemu Faiz mulai meredup. Gue merasa menang, hingga suatu ketika gue mendapati kenyataan bahwa Faiz hanya ingin membalas dendam kepada gue.
‘Gue otw ke apart elo ya. Charger gue ketinggalan. Lo di apart kan? –SENT. Gue beralasan mau ambil charger untuk menutupi kedok gue yang sesungguhnya kangen pengen ketemu itu. Setelah Faiz membalas SMS gue dan mengatakan bahwa ia seharian stay di apartemennya, gue pun tanpa firasat apa-apa langsung meluncur kesana ditemenin 3 sahabat baik gue. And then the shits happened.
Gue mengetuk pintu. Pintu dibuka. Faiz telanjang dada. Gue melirik ke bawah. Oh sukur masih pake boxer. Ekspresinya dibikin kaget walaupun tetep gak bisa nutupin senyum kemenangan dibaliknya. Dan biasanya di sinetron-sinetron murahan jaman sekarang pasti bakal ada…
“Sayang… Siapa?”
Suara cewek yang mendesah seperti kurangan oksigen membuat tensimeter gue naik ke titik tertinggi. Tanpa mempedulikan aturan tata krama gue masuk ke apartemen Faiz dan mendapati Fero tidur dengan keadaan semi telanjang disana. What the?
“Dinna?!” seru Fero kaget. Gue gak kalah kaget! Tapi berkat bekal ilmu acting semasa ikutan teater dulu, gue mampu mensiasati awkward-moment itu.
“Oh Mbak, udah lama? Aku Cuma mau ambil charger kok. Duluan ya Mbak. Duluan Faiz. Daah…”
Gue mencabut charger dengan kasar sampai-sampai menjatuhkan handphone senior gue itu. Gue gak peduli, pokoknya gue mau cepet-cepet pergi dari sana. Gue harus menyelamatkan harga diri gue dari bajingan kampret dan lesbian tengik itu. Sesaat sebelum pergi gue melihat sebuah celana dalam di seberang ruangan. Ckit ckit. Ckit ckit. Eh, ini bukan iklan obat maag ya? Gue sempat memandang Faiz sebentar. Awalnya dia terlihat senang karena berhasil mempermalukan gue. Tapi lama-lama tatapan itu berubah. Menjadi tatapan panik.
“Thanks Faiz. Thanks for everything.” Gue membuat drama sebelum kepergian gue. Setidaknya gue ingin dia tahu bahwa gue sangat sakit hati dibuatnya.
“Sakitnya tuh disini, di dalam hatiku… Sakitnya tuh disini, YEAAAHH!!!” –Chita Chitata sings metal version.
***
Hubungan segitiga kami (gue, Faiz dan Fero) entah kenapa menjadi trending topic setiap gue terbang. Ada aja pramugari atau pramugara lain yang kepo dengan hubungan kami. Gue percaya bahwa gossip itu makin di gosok semakin sip, maka gak heran dimana fakta awalnya gue mergokin Faiz ‘ngamar’ bareng Fero, infotaiment malah bilangnya gue, Faiz dan Fero ‘ngamar’ bareng. Pernah pula ada yang ngegosipin gue ngerebut Faiz dari Fero dan akhirnya Fero jadi lesbi. Tapi dari sekian gossip itu, yang paling ngehe adalah saat gue ditegor salah satu senior pramugari gue.
“Din, gue punya dua kabar buat lo. Baik dan buruk.”
“Apaan emang Mbak?”
“Buruknya, orang-orang bilang sekarang lo lesbi juga ya? Kaya si Fero?”
“Anjrit! Engga lah Mbak! Aku ini loh 100% boys hunter! Eh eh tapi berita baiknya apa Mbak?”
“Wah, gak jadi berita baik kalo begitu. Gue kira lo beneran lesbi. Baru mau gue ajak ngamar.”
BABI!
Gue masih gak rela Faiz lebih milih Fero untuk menyakiti gue. Gue lebih rela Faiz jalan sama cewek yang orientasi seksualnya ‘normal’. Bisa dibilang harga diri gue ternodai karena pesona gue dikalahkan seorang lesbi. Dan untuk beberapa saat, gue mendendam sama Fero. Gak ada pandangan hormat sedikitpun dari gue untuknya (padahal gitu-gitu dia juga senior gue lo). Sampai suatu ketika, sahabat-sahabat gue ngajak gue ngobrol delapan mata.
“Kan elo yang mutusin Faiz, kenapa jadi elo yang ngerasa disakitin?” tuduh Reza tajam. Diantara kami berempat, yang punya lidah silet memang kami berdua.
“Gini ya Za, gue mutusin Faiz karena gak suka gaya pacaran kami yang kasar. Dikit-dikit berantem pake kekerasan. Pacaran aja udah begitu, apalagi kalo kita nikah? Kepala gue bisa bocor dijedotin ke tembok kalo ketahuan korupsi uang dapur. Nah, kalo putus dari gue dia mau jalan sama cewek lain, ga masalah.Seriously! Tapi gue gak rela aja kalo Faiz jalan sama cewek aseksual macam Fero itu. Rasanya kayak biarin dia dikangkangin banci.”
“Lah, dengan jalan sama Faiz, Mbak Fero berarti udah mulai normal tho? Gitu-gitu Mbak Fero kan cewek juga, Din. Beda lah sama banci. Harusnya kamu seneng, dengan iklasin Faiz kamu bisa nyembuhin Mbak Fero dan lepas dari Faiz. Liat positifnya Din, berkat kejadian ini sekarang kamu bisa move on.”
Gue termenung. Karena dibutakan emosi, gue sampai lupa untuk melihat sisi positif dari kejadian ini. Dulu meski udah putus, gue masih susah move on dari Faiz karena gampang banget terbuai rayuan gombalnya. Sekarang gue malah gak mau lihat muka dia lagi, bahkan dalam pikiran gue sedetikpun. Gue juga sudah beramal buat Fero. Dengan mengiklaskan Faiz untuknya berarti gue juga sudah membantu upayanya untuk kembali normal. Karena gak lama kemudian, setelah Faiz dan Fero putus gue denger Fero pacaran lagi sama pilot (cowok) di maskapai yang sama.
Lalu bagaimana dengan Faiz? Sampai sebelum gue menikah dia masih suka nanyain kabar gue lewat temen-temen. Masih sering bilang cinta pake mati lah sama gue, gak bisa hidup lah tanpa gue, yah lagu lama yang artinya sama aja dengan I love you forever after yang sering dia kumandangkan. Halah. Tai kuciang kalo kata orang Padang. Entut berut kalo kata orang Bali. Kalo kata gue?
‘Dude, please think before you make another promises if you don’t know what forever means.’
