Namanya Fendi, ia murid pindahan di SD 3-4-7 Banjar Jawa, sekolah dasar gue belasan tahun lalu. Anaknya ganteng, putih-putih karena darah chinesenya, agak gembul (saat itu orientasi ganteng menurut anak SD ya segitu, mana ada anak SD punya body sixpack di usia 6-12 tahun?), pintar berbagai mata pelajaran berkat keturunan seorang dokter dan apalagi ya? Yah… Dan dia cinta monyet pertama gue.
Untuk urusan cinta-cintaan, gue memang agak terlambat mengingat salah satu teman gue (dan entah bagaimana kemudian menjadi salah satu sahabat terbaik gue) yang bernama Cyndi diumurnya yang baru 11 tahun malah sudah berpacaran dengan anak SMA. Mungkin karena saat itu gue masih tomboy berat, maka hormon gue bekerja lamban sekali terhadap lawan jenis. Yang ada malah gue pernah menonjok Rangga, salah satu siswa cowok yang nekat membuka rok gue hanya untuk tau warna dalaman gue hari itu apa. Dengan predikat mampu-membabakbelurkan-cowok itu, memangnya cowok mana yang berani deket-deket gue lagi? Ternyata Fendi berani. Enggak sih, lebih tepatnya dia saat itu belum tau bahwa gue yang berbadan cungkring itu cukup kuat untuk menonjok begajulan paling nakal seantero sekolah kami sampai berdarah-darah.
“Hai Rad, kenalin. Aku Fendi, kita sekelas loh!”
Deg deg… deg deg… deg deg deg deg deg deg!!!Jantung gue berdetak dengan berisiknya sampai-sampai gue gak bisa berkonsentrasi untuk menjawab sapaan Fendi. Suasana awkward mencekam karena kami diam-diaman. Gue membuka mulut. Sedetik kemudian bungkam kembali. Gue berusaha membuka mulut lagi, pada akhirnya bungkam lagi. Begitu terus hingga kemudian,
“Kamu kenapa Rad? Megap-megap kaya ikan? Kamu kekurangan oksigen ya? Asma-mu kumat ya? Wah, kamu harus dibawa ke PKS!”
Great! Sebagai anak dokter, insting menolong Fendi tinggi sekali. Sayangnya dia salah, gue megap-megap bukan karena asma, melainkan karena grogi. Ampun!
“Rrr.. eeerrrrr…” gue bermaksud membalas sapaannya dengan nyebutin nama gue sendiri ‘Radinna’ tapi yang keluar malah bunyi geraman kucing mesum. Karena yakin gue gak mampu berbicara secara normal dengan Fendi, gue akhirnya memutuskan kabur saat itu juga. Gue gak mau kalo nekat maksain buat ngobrol, Fendi bakal ngira gue kaya kucing cabul yang kena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut).
Gue lalu berkonsultasi pada Cyndi sahabat baik gue dari SD. Menurut gue diantara temen-temen SD lainnya yang masih suka ngemping permen, Cuma Cyndi yang bisa diandelin masalah hubungan dengan lawan jenis. Di luar kenyataan bahwa dia cewek pertama di sekolah kami yang mengalami menstruasi, dia memang sudah terkenal sebagai seorang dokter cinta semasa kami SD. Gue rasa lulus kuliah nanti Cyndi bakal melamar ke stasiun TV buat ngisi acara dimana kita cukup kirim SMS berbayar seribu perak maka madam Cyndi akan meramal kehidupan cinta kita.
“Aku rasa kamu jatuh cinta, Din. Sama Fendi.”
JDER! Gue shock ketika mendapat diagnosis yang (saat itu) terdengar lebih parah dari kanker mulut rahim stadium 6. Tersanjung aja tamat di nomor 7, apa bentar lagi gue juga bakal tamat? TIDAAAKK!!!
“Gak mungkin, Cyn! Aku tuh cintanya sama kamu!” kata gue ngeyel. Oh, ada yang harus gue perjelas dulu dari hubungan gue dan Cyndi disini. Gue dan Cyndi sahabatan, saking kita kemana-mana selalu bareng, waktu Cyndi bilang dia naksir kakak kelas kami yang bernama kak Hana, gue juga bilang kalo gue naksir Cyndi dan nembak dia di pos kamling sekolah. Bayangin! Gue waktu kelas 4 SD punya potensi lesbi! Ah, gue terlalu lugu menyangka gak mau kehilangan sahabat itu perasaan sama dengan naksir lawan jenis.
“Din, cewek itu sudah seharusnya naksir cowok. Bukan naksir sesama. Jadi gak papa, dengan begini berarti kamu normal.”
Gue berusaha memahami semuanya. Gue cewek. Harusnya naksir cowok. Gak boleh naksir Cyndi. Harusnya naksir Fendi. Arrgghhh! Semuanya terlalu berat bagi gue! Mungkin di jaman SMA, menerima kenyataan tadi lebih sulit dari belajar rumus phytagoras dalam bahasa Romawi. Sukurnya Cyndi bersedia jadi mak comblang gratisan buat gue. Pelan-pelan ia menuntun gue menjadi seorang albege-albege (alay baru gede) yang nantinya akan membuat Fendi tertarik. Baiklah! Gue akan berusaha! Hahahahahahaha!!!
Hahahahaha… sayangnya gak semudah itu. Dengan saingan yang jumlahnya melebihi peserta Indonesian Idol, kesempatan gue untuk menarik perhatian Fendi teramat-sangat-kecil. Dari anak kelas 1 sampai sesepuh di kelas 6 semuanya naksir Fendi. Gak aneh sih, gembul-gembul begitu memang dia yang paling ganteng di sekolah kami. Coba cowboy junior udah ada di jaman gue SD, mungkin Fendi gak bakal setenar itu.
Gue berusaha menarik perhatian Fendi dengan segala kelebihan yang gue miliki. di pelajaran olahraga contohnya, dengan memukul bola baseball sejauh-jauhnya.
“Wah, liat Fen! Si Radinna satu-satunya cewek yang bisa homerun!”
“Iya, ngeri ya? Cewek kok tenaganya kaya banteng.”
Ternyata Fendi lebih tertarik dengan cewek lemah yang buat ngayunin tongkat kastinya aja perlu latihan angkat barbel selama sebulan penuh. Baiklah, gue gak mau menyerah! Gue berusaha menarik perhatian Fendi di pelajaran Bahasa Inggris dengan mendapat nilai sempurna saat ulangan. Sebagai anak dokter, dia pasti pengen punya pacar yang pinter juga. Biar gak malu-maluin kalo dikenalin ke bokapnya.
“Wah Fen, si Radinna satu-satunya yang dapet 100 di kelas!”
“Iya, nyebelin ya? Padahal kalo bukan karena dia, aku tuh yang paling tinggi nilainya di kelas.”
Dan dia malah anggap gue saingan berat dan menatap gue dengan aura permusuhan. Gue bener-bener gak punya kesempatan. Apapun yang gue lakukan gak akan pernah mendapat perhatian Fendi. Sekalinya dulu gue dapet kesempatan ngobrol sama dia, gue malah megap-megap kaya ikan cuwe. Akhirnya gue mengibarkan bendera putih.
“Kamu yakin Din? Gak mau usaha lagi? Gossipnya si Desak pacaran lo sama Fendi.” Hebat ya? Anak SD di jaman itu udah bisa ngegossip.
“Gak papa Cyn. Kaya begini juga aku udah seneng, liatin dia dari jauh. Mau usaha kaya gimana juga pasti hasilnya berbalik dengan yang aku pengen.”
“Ya kan kamu bisa pura-pura jadi cewek yang dia suka Din, kaya si Desak itu. Pura-pura jadi cewek ayu yang nilainya jeblok di kelas.”
“Lah, buat apa? Kalo buat jadi pacarnya aku harus pura-pura jadi orang lain, ya mending dia pacaran aja sama yang lain. Aku suka Fendi karena dia ramah dan suka perhatian sama cewek lemah. Mungkin kalo gak begitu, aku gak bakal suka sama dia. Dan kalau dia suka aku, dia harus suka aku apa adanya. Bukan seperti maunya.”
Gue dan Cyndi mengemut permen jagoan neon kami masing-masing. Gue menatap Fendi di kejauhan. Cyndi menatap kak Hana. Yah, meskipun dia sudah pacaran dengan mas-mas SMA itu, gue rasa dia masih tetep naksir kak Hana.
“Jadi pengalaman cinta monyet pertama kamu berakhir begini ya, Din? Bertepuk sebelah tangan?” gue mengangguk. Walaupun gue belum pernah sekalipun mengutarakan perasaan gue, tapi gue yakin cinta monyet pertama gue ini memang bertepuk sebelah tangan. Bahkan hal itu menjadi rahasia antara gue dan Cyndi untuk belasan tahun berikutnya. Gue gak pernah membahas cerita ini hingga buku kedua gue ini digarap dan menuntut gue untuk menggali pengalaman cinta monyet pertama gue.
‘Dear monyet pertama gue yang bernama Fendi… Kita memang gak berakhir manis kaya gulali, tapi bakal aku inget sampai mati. Bahwa hari ini, kamu mengajarkan sesuatu yang berarti. Pelajaran penting tentang arti mencintai.
‘Bahwa semua tidak akan berarti kalau aku menjadi beda. Tidak akan bermakna kalau aku menjadi tidak sama. Dan secara tidak langsung, mengajarkan aku untuk menjadi apa adanya. Semoga suatu saat nanti kamu bahagia. Dengan siapapun lah nanti namanya. Sementara namamu tetap disana, di salah satu sudut rongga dada. Terukir indah sebagai monyetku yang pertama.’
