Rabu, 12 Maret 2014

CAPAS : Kapal dan Bahtera Rumah Tangga

     Saya heran, dengan orang orang yang suka sekali menganalogikan hubungan rumah tangga dengan kapal. Hubungan suami istri disamakan dengan nahkoda. Guys, it was totally DIFFERENT! Rumah tangga ya rumah tangga, gak bisa kita samakan dengan kapal ataupun pesawat jet sekalipun. Saya baru saja menikah, saya sebenarnya tidak pantas memberi kuliah tentang hubungan rumah tangga. Namun tentu saya berhak mengutarakan pendapat saya jika kalian mempergunjingkan masalah rumah tangga saya, ya kan?
     Bagi saya, kapal itu (yang seringkali dianalogikan sebagai bahtera rumah tangga) adalah sebuah perangkat. Rumah tangga berbeda, ia adalah hubungan suci di mata Tuhan (dimana KITA SEMUA percaya Tuhan itu satu, benar?). Kapal itu benda mati yang bisa dilihat, bisa kita raba. Sementara rumah tangga itu kasat mata, kepercayaan kita akan ikatan itulah yang membuatnya berbeda dari sekedar hubungan persahabatan dan berpacaran, tentu selain fakta bahwa kita juga diikat melalui surat-surat alias dokumen pernikahan. Kapal memiliki satu pemimpin, ia juga memiliki satu co-pemimpin. Kalau rumah tangga diibaratkan kapal, bagaimana jika kapal tersebut memiliki 3 crew? 1 pilot dan 2 co-pilot (which is itu sering terjadi)? Apakah itu berarti rumah tangga juga diperbolehkan? Satu pemimpin (suami) dan dua co-pemimpin (istri)? Begitu? Di islam mungkin memang diperbolehkan, tapi dengan syarat yang panjang. Lalu bagaimana dengan pasangan di agama lain dimana agamanya melarang poligami? Disini saya menilai, kapal, pesawat atau apapun tidak layak dianalogikan sama dengan hubungan rumah tangga.
    Kemudian, saya heran dengan pendapat orang-orang yang mengatakan jika dalam satu rumah tangga terdapat dua keyakinan (pada konteks ini kita berbicara agama), maka bisa dipastikan hubungan rumah tangga tersebut akan bermasalah. Apakah mereka cenayang? Apakah mereka bisa membaca masa depan? Apakah mereka punya kantong ajaib Doraemon? Saya tidak tahu. Namun sekali lagi saya katakan, saya baru saja menikah. Benar, usia pernikahan saya baru seumur jagung. Kami baru berpacaran 1.5 tahun dan menikah sebulan. Tapi itu bukan dasar bagi kalian untuk memberi saya cap bahwa kedepannya hubungan rumah tangga kami akan dirusak karena agama.
     Di ajaran agama Hindu, kami sangat percaya dengan hukum karma. Apa yang anda tanam, itu yang anda tuai. Dan itu bersifat personal. Itulah yang hingga saat ini, saya dan suami pahami. Sebagai sosok yang tidak antipati terhadap agama lain, kami tidak terlalu kesulitan menerima perbedaan diantara kami. Ketika dulu dia berpuasa, maka saya menyiapkan sahur dan sebisa mungkin tidak makan ataupun minum dihadapannya. Meski ia berkali kali berkata "Yang puasa itu saya, dan saya tidak sekedar berpuasa. Saya menahan lapar, emosi dan nafsu. Kalau umat lain jadi tersiksa karena merasa harus menghormati saya, berarti puasa saya tidak afdol". Saya tetap berpuasa 'dihadapannya'. Itu adalah tenggang rasa yang saya tunjukkan kepada pacar saya (saat itu kami belum menikah).
     Ketika saya pulang ke Bali dan bersembahyang, ia turut mengantar saya dan ikut masuk ke dalam Pura. "Ini rumah Tuhan juga kan? Berarti Tuhan saya juga pasti ada disini" itulah yang suami katakan setiap kali mengantar saya ke pura. Ketika saya menyantap daging babi kesukaan saya, ia turut mendampingi, meskipun pada awalnya saya merasa sungkan, namun ia selalu berkata "Kan yang makan daging babi kamu. Saya kan cuma menemani. Masa dosa? Kalau tidak, berarti kamu gak usah sungkan". Dan akhirnya kami pun menyatu, saling mendukung dan menghormati agama masing-masing. Itu saya lakukan selama 1.5 tahun bersama, dan syukurnya belum ada perubahan sikap diantara kami sampai sekarang.
     Kita tidak bisa melihat masa depan. Namun kalaupun nantinya perpisahan itu terjadi, saya yakin itu bukan karena agama. Agama hanya cara yang berbeda. Saya ke pura, dia ke masjid. Saya makan babi, dan ia makan sapi. Berbeda bukan berarti tidak bisa berjalan beriringan. Asal kita sudah menanamkan itu, saya rasa agama tidak akan menghalangi hubungan cinta walau dengan azas perbedaan sekalipun. Toh kita memang berbeda. Dari lahir bahkan kita sudah berbeda-beda. Kenapa harus agama yang memisahkan? Saya yakin, itu hanya sisi egoisme yang kita pelihara dimana kita memaksakan pendapat yang sama terhadap orang lain. Keyakinan itu masing-masing, Bung! Bukan bermaksud sok bijak, apalagi menasihati. Saya hanya berpendapat : jangan campuri urusan orang lain, terlebih dengan cara yang tidak sopan. Jangan paksakan keyakinan orang lain, apalagi jika menggunakan kekerasan.
Terima kasih.