Sabtu, 21 September 2013

Tugas Rumahan Pramugari

     Menjadi pramugari, bukan berarti lo harus punya gelar S3 di bidang tata rias. Tapi lo harus punya sertifikat buat uji kesabaran, uji kejijikan, dan uji keramahan. Itu wajib banget! Cantik tapi gak punya 3 hal itu, karir lo sebagai pramugari patut dipertanyakan. Beberapa cerita di bawah ini bisa menjadi gambaran, apa yang akan lo hadapi setelah menjadi pramugari.

    Karena gue bekerja di maskapai penyandang low cost carrier, dimana itu berarti harga tiket maskapai gue sangat terjangkau dompet, maka gue dipastikan akan bertemu berbaga tipe penumpang dari berbagai kalangan. Ntah itu niang-niang Padang, masteng-masteng Banjarmasin, bule-bule Denpasar atau Koko-Koko Surabaya. Dari penumpang yang baru pertama kali naik pesawat, penumpang yang terlalu sering naik pesawat, sampai penumpang yang ngira pesawat sama dengan angkutan kota bisa gue temui tiap harinya.
     Gue pernah bertemu dengan seorang nenek-nenek yang sudah sangat renta. Untuk berdiri saja ia susah, harus terus dipapah anak lelakinya. Nenek itu menggunakan toilet untuk buang air besar sambil ditunggui anaknya. Cukup lama si nenek berada di dalam toilet. Begitu pintu di buka, aroma busuk langsung merebak memenuhi galley belakang. Gue dan 2 junior gue langsung menutup hidung dan megap-megap cari oksigen segar. Si Nenek dengan susah payah berusaha keluar dari toilet. Dengan sopan, junior gue menegur si Nenek.
      "Nek, kalau sudah selesai, tombol birunya di tekan ya!" ujar salah satu junior gue sembari masih menutup hidung. Gue mendengus kesal. Cara bicaranya memang sopan, tapi sikapnya menutup hidung itu bagi gue bisa membuat orang lain tersinggung. Gue berdiri dan memperhatikan si Nenek sambil tersenyum. Ia hanya melihat junior gue dan anak lelakinya bergantian dengan tatapa tidak mengerti. Junior gue ingin angkat bicara lagi, tapi segera gue potong.
      "Udah Mas, jalan dulu aja. Biar saya yang bersihkan," ucap gue sambil tersenyum. Kedua junior gue yang sebelumnya diam tiba-tiba berebut mau membersihkan toilet.
     "Gak papa, biar gue aja."
     Sebenernya gue kecewa dengan kedua junior gue ini. Mereka terlatih sigap membantu senior, bukannya membantu penumpang. Ada yang salah disini. Kenapa loyalitas mereka terhadap senior malah lebih tinggi daripada ke penumpang. Gue membuka pintu toilet dan melihat setengah closet penuh berisi tai encer seperti mencret. Mungkin memang mencret, dan banyaknya pake banget. Hebat juga tuh nenek-nenek, gue aja boker gak pernah sebanyak ini!
     Gue menekan tombol 'flush' dan whuzzhh, kotoran tersedot ke dimensi lain. Tapi sayangnya, meskipun udah gue flush berkali-kali, masih ada kotoran bandel yang melekat di sisi closet. Penerbangan masih panjang, kalo gue harus menutup satu toilet, kasihan kalau nanti banyak yang mau menggunakannya. Akhirnya gue mengambil airsickness bag dan membersihkan sendiri kotoran itu. Ya, dengan tangan gue yang dibungkus kantung muntah. Rasa mual, jijik, dan baunya yang belum hilang menyatu dan membuat gue ingin muntah. Akhirnya dalam 5 menit, toilet itu bersih seperti sedia kala.
    Ada cerita lagi, saat gue in charge sebagai FA 5 dan menjabat sebagai FA paling junior di penerbangan itu. Seorang Bapak-Bapak yang belum terlalu tua muntah di wastafel. Karena gue adalah FA junior, maka gue lah yang wajib membersihkan muntahan si Bapak. Ntah lah siapa pembuat hukum ini, tapi memang begitulah keadaannya di lapangan. Gue harus menyiram wastafel dengan air, membilasnya, mengisi air lagi, dibilas lagi. Setelah agak bersih baru gue bilas sisanya menggunakan tissue.
     Pernah lagi gue harus memegangi kemaluan seorang anak kecil berusia 4 tahun yang ingin pipis. Ibunya sibuk dengan seorang bayi dan anaknya yang lain. Jadilah gue setengah mengangkat si anak dan memegangi tititnya (sumpah, gue berasa tante pedofil kalo kaya gini) supaya air kencingnya gak berceceran.
     Semua rasa jijik, mual, ingin muntah pasti ada. Tapi toh gue tetap melakukannya. Gue berusaha mengingat Ibu yang tanpa ragu melakukan itu semua kepada gue saat gue kecil. Padahal gue tidak membayar jasa Ibu sepeserpun. Jadi ketika penumpang gue membutuhkan perhatian ekstra karena ketidaktahuannya atau keterbatasannya, maka wajib bagi gue untuk membantu mereka. Bagaimanapun, penumpanglah yang membayar gaji gue. Membuat gue bisa makan enak tiap harinya, selalu bisa mengirim uang ke rumah tiap bulannya.
     Jadi, sekarang udah tau kan, dibalik anggunnya seragam pramugari, kadangkala ada tugas 'rumahan' yang harus bisa lo kerjakan. Bagi gue, tugas ini bisa jadi sebagai latihan gue untuk nantinya merawat Ibu gue dan bahkan Ibu mertua gue saat beliau membutuhkan. Seperti pengabdian Ibu kepada nenek yang merupakan Ibu mertuanya, maka gue bertekad bahwa nanti gue pun akan berbakti seperti beliau. Dan ini, adalah saatnya gue membiasakan diri. :))