Gue galau. Yah, namanya juga pramugalau. Hobinya ya ngegalau. Tapi malam itu, kegalauan gue udah mencapai titik teratas. Sebenernya tanda-tanda kegalauan gue udah terlihat sekitar sebulan ini sih. Gue juga merasakannya. Tiba-tiba gue pulang ke Bali selama 3 hari 2 malam hanya karena kangen rumah. Gue juga mendadak pergi ke Jogja PP dalam sehari karena kegalauan gue sudah memasuki stadium akut sehingga membuat gue berpikir untuk merefresh otak gue dengan cara apapun. I mean, ke Jogja pulang-pergi dalam sehari? Lo kira tiket murah? Tapi lumayan sih. Walaupun kondisi kesehatan gue menurun setelahnya, tapi paling engga gue bisa bersenang-senang dengan cara gue.
Nah, tepat dua hari yang lalu, gue mulai menggalau lagi. Galaunya udah ngelewatin batas normal. Saat itu gue lagi day off. Setelah menikmati sore-minggu bersama Maherda dengan menonton film (seperti biasa), gue memutuskan untuk menginap di rumah Budenya di kawasan Kalibata, mengingat tengah malam nanti Maherda harus menjalankan schedule terbang uka-uka ke Ambon. Begitu Maherda dijemput, ia membangunkan gue di kamar tamu.
“Gek, aku berangkat dulu ya…” gue yang memang belum bisa tidur itu langsung memasang ekspresi memelas.
“Aaa, jangan terbang Mas. Aku masih kangen… Mana besok aku terbang pagi. 4 hari lagi. Aku gak mau pisaaaahhh!!!” yap, menyebalkan as usual. Maherda ngeliat gue dengan tatapan ‘Bapak-ke-anaknya’ yang biasa dia kasi tiap gue bermanja-manja seperti ini.
“Lah gimana? Kalo aku gak kerja, nanti penumpangnya gak bisa terbang donk?”
“Yawis, kalo gitu aku aja yang gak terbang. Lagian masuk anginku gak ilang-ilang lo mas. Aku gak enak badan. Besok pas Mas pulang dari Ambon anter aku ke rumah sakit ya Mas?”
“Kok gitu? Nanti jadi masalah lo. Kalo ijin sakit harus keluar uang banyak. Lagian kalo kamu gak terbang, nanti gajimu sedikit. Mana kamu mau cuti kan? Terus katanya kamu mau apply buat jadi best FA. Gak boleh ijin sakit dulu donk,” gue yang merasa gak didukung langsung emosi. Ampere ngambek-meter gue langsung melonjak ke titik tertinggi.
“KOK MAS GITU SIH? Aku gak enak badan lo Mas! Masa disuruh terbang? Aku capek Mas! Aku capek banget terbang!!!”
“Bukan gitu Gek… Kamu itu beruntung lo, dikasi schedule terbang terus. Kan banyak FA yang gak dikasi jam terbang yang banyak. Berarti kondite kerja kamu dianggap bagus sama perusahaan. Kok malah ngeluh? Banyak yang gak seberuntung kamu. Banyak yang pengen jadi pramugari. Kok kamu malah gak bersyukur?” Maherda dengan lembut masih mengelus kepala gue. Gue menepisnya dengan kasar.
“Tapi aku capek! Akhir-akhir ini aku bener-bener capek! Ya gimana? Wong aku gak cita-cita jadi pramugari kok? Aku mau jadi pramugari ya karena duitnya banyak! Tapi aku capek! Aku mau pulang ke Bali aja, aku mau kuliah aja! Wis , aku kuliah apa aja gak papa, yang penting aku bisa kumpul lagi sama keluarga aku!” di titik ini gue mulai menangis. “Kamu enak Mas, keluargamu disini. Keluargaku ada jauh di Bali. Buat ketemu susah. Aku udah anggap lebih dari keluargaku Mas. Kamu yang selalu aku harapkan dan aku andalkan karena keluargaku jauh. Makanya aku mau nikah cepet sama kamu, ya karena aku mau jadi bagian dari kamu. Aku mau punya keluarga baru disini, sama kamu. Tapia pa? Aku ngadu, aku cerita, aku lagi down kaya gini, kamu bukannya nyuruh aku berobat, malah nyuruh aku buat maksain diri buat tetep terbang! Aku capek terbang Mas!”
“Ya kamu pikir aku gak capek terbang? Ketemu sama Captain-“
“Baru juga Captain! Aku ketemu penumpang yang ngamuk-ngamuk! Orang kaya baru kampungan yang ngerendahin aku dan maki-maki aku macam sampah! Ketemu senior rese yang suka nyuruh ini-itu macam babu! Ketemu junior yang malah nyepelein aku kalo dibaikin! Ketemu pilot yang genit atau yang suka marah! Tekanan aku tiap harinya banyak banget Mas! Aku selalu berusaha memotivasi orang, tapi gak ada yang ngasi aku motivasi! BAHKAN KAMU PUN ENGGAK!!”
Gue menghela nafas sejenak. Memberi jeda untuk mendramatisir suasana.
“Lagipula, kamu kan emang cita-cita jadi pilot Mas. Pasti kamu bakal bertahan, setidak-menyenangkan apapun cita-citamu itu. Tapi cita-citaku beda Mas. Kamu suruh aku nulis, secapek apapun aku bisa nulis. Aku iklas. Aku gak bakal ngeluh. Kamu suruh aku siaran on air 4 jam full, aku jabanin secapek apapun kondisi aku. Aku juga gak bakal ngeluh. Aku gak bakal mengeluhkan hal-hal yang aku suka Mas. “
Saat itu gue sedih banget. Bahkan Maherda pun gak ngerti apa yang gue rasain. Gue sangat tertekan. Gak mudah bagi gue untuk terus menerus berpura-pura. Berpura-pura sabar didepan penumpang. Berpura-pura sabar dimarah senior. Berpura-pura sabar dengan junior pemalas. Seandainya gue bisa tetap menjadi diri gue yang tengil, cuek, dan sebodo teing, mungkin gue gak akan tertekan seperti ini. But every single times I used my uniform, I know, I should changed. I should show them what the real flight attendant are. Meski setelah lepas seragam gue bisa kembali pada kepribadian gue, tapi tetep aja waktu-waktu yang gue habiskan dengan seragam itu sangat menyiksa. Dan 1,5 tahun adalah waktu yang lama sehingga akhirnya membuat gue berontak seperti ini.
“Aku mau pulang Mas. Aku dilahirin sama Ibu aku bukan buat jadi babunya senior. Bukan buat dihina penumpang. Bukan buat jadi orang yang selalu disalahkan. Katanya gajiku gede karena profesi high risk yang mengancam nyawa. Kalo gajiku gede karena aku bisa selalu diperlakukan semena-mena seperti itu, aku gak rela! Sumpah, aku mau pulang! Udah, kamu pergi aja sekarang! Aku gak mau ngomong sama kamu lagi!” gue menarik selimut gue tinggi-tinggi dan memalingkan wajah. Maherda mengelus kepala gue dan mengecup dahi gue untuk kemudian pergi menarik kopernya.
Gue berusaha menelfon kedua orangtua gue malam itu. Gue ingin mengadu. Gue perlu kalimat-kalimat penyemangat. Tapi sayangnya, gak satupun dari mereka mengangkat telfon gue. Gak ada pilihan lain, gue kembali menyemangati diri gue sendiri. Mendoktrin untuk tidak melakukan tindakan nekat dengan kabur ke Bali dan meninggalkan kewajiban terbang gue pagi itu. Berat. Sangat berat untuk memotivasi diri sendiri disaat kita benar-benar sedang terjatuh. Tapi pada akhirnya, keesokan pagi ketika alarm HP gue berbunyi, toh gue tetap bangun dan bersiap-siap. Kalau gak ada satu orang pun yang peduli, maka gue gak akan membiarkan diri gue sendiri untuk melakukan hal yang sama. Gue harus peduli dengan gue sendiri. Gue harus bisa memotivasi diri gue sendiri, serapuh apapun kondisi gue saat itu. Dan pagi itu (subuh sih lebih tepatnya, jam setengah 3 pagi tuh), gue menunjukkan bahwa gue masih bisa melakukannya. Gue masih bisa menggeret koper gue dengan semangat dan menyambut langit dengan senyuman.
“Selamat malam hari yang rapuh. Selamat pagi hari yang semangat!”