Gue paling benci kalo harus berurusan sama penumpang yang suka membahayakan keselamatannya sendiri. Gue heran, punya masalah hidup apa sih, kok sampe pengen mati gitu? Sini cerita sama Mbah… Loh? Kejadian ini terulang lagi di penerbangan Bengkulu-Jakarta kemarin malam.
Akibat kerusakan alat perekam di cockpit, penerbangan Jakarta-Bengkulu yang seharusnya dijadwalkan berangkat pukul 16.25 jadi molor hingga pukul 18.00. Gue yang masih proses recovery setelah perjalanan ke Jogja itu jadi rada senewen, padahal ini buka delay pertama yang gue alami. Karena pesawat tersebut kemudian dinyatakan tidak layak terbang, maka gue dan crew harus ganti pesawat. Ternyata pesawat yang akan kita gunakan juga sedang dalam proses perbaikan pada system pressurize. Itu adalah system yang mengatur tekanan udara di dalam pesawat selama terbang ribuan feet diatas permukaan laut.
Karena dari Jakarta udah delay, penerbangan dari Bengkulu ke Jakarta juga dipastikan delay donk. Gue udah siap dengan wajah-wajah jutek para penumpang. Gue senyum terus sampai gigi gue kering walaupun hanya beberapa dari mereka yang sudi membalas senyum manis gue. ‘Ah, seandainya mereka tau. Gue juga gak suka kalo penerbangan gue delay begini…’
Didetik terakhir proses boarding, tiba-tiba seorang Ibu-Ibu muda berlari masuk ke tengah pesawat. Ia membawa sebuah koper kecil dan tas jinjing. Gue segera melihat-lihat space headrack yang kosong untuk si Ibu. Ternyata space yang tersisa ada di nomor 12.
“Ibu duduk nomor berapa?” kata senior gue, Mbak Novi.
“Nomor 2A!” jawab si Ibu ketus. Gue lihat Mbak Novi sibuk dengan urusan dokumen, maka gue langsung meminta si Ibu untuk menempatkan kopernya di headrack nomor 12.
“Ibu, silahkan kopernya diletakkan di nomor 12. Saya sudah sediakan tempat untuk koper Ibu.”
“Gak! Gak usah! Biar disini aja!” EHBUSET! Itu koper ditaruh disela tempat duduknya dengan diapit selangkangan. Muat sih, karena kopernya kecil. Tapi…
“Maaf Ibu, koper Ibu tidak bisa diletakkan disana. Harus diletakkan di compartment atas. Bahaya loh Bu, nanti Ibu susah keluar kalo amit-amit kita kecelakaan. Belum lagi kalo kecelakaannya di perairan, ntar Ibu gak bisa ambil baju pelampung!” jurus ini biasanya mempan untuk membuat para penumpang menyerah. Tapi tidak dengan Ibu-Ibu menyebalkan yang satu ini.
“Biarin! Daripada koper saya hilang? Saya Cuma mau koper saya ditaro diatas kepala saya!”
“Tapi sudah tidak ada tempat lagi Bu. Adanya di nomor 12. Silahkan Bu, biar saya tunjukkan tempatnya,” gue berjalan kearah baris nomor 12, tapi si Ibu tidak bergeming. Gue terpaksa menghampirinya lagi.
“SAYA GAK MAU MBAK! KEJAUHAN, TAU NGGAK?! Gimana kalo hilang? Kamu mau tanggung jawab!”
“Saya dan perusahaan memang tidak bertanggung jawab atas barang-barang yang dibawa ke kabin. Tapi saya bertanggung jawab dengan keselamatan penumpang. Jadi saya mohon kerjasama Ibu,” bukannya menurut, si Ibu malah buang muka. Gue kehabisan kesabaran! Emosi gue memuncak karena menahan sakit dan menahan amarah. Gue segera ke front cabin untuk memanggil ground staff.
“Mas, urusin tuh Ibu-Ibu nomor 2A! Koper kok ditaruh disela kursi?” kata gue. Tidak bernasi lebih baik dari gue, si groundstaff itu malah diteriaki oleh Ibu-Ibu yang rupannya penggemar Metallica ini. Gue menarik nafas pelan. ‘Come on, Dinna! Semenyebalkan apapun, dia tetap penumpangmu! Cari cara! Kamu pasti bisa!’
“Permisi Ibu-“
“Pokoknya saya gak mau! Harusnya Mbak atur donk supaya masih ada tempat buat barang saya! Masa saya duduk disini, koper saya jauh dibelakang?! Atau Mbak pindahin aja barang-barang itu ke nomor 12 biar saya bisa taruh koper saya diatas!” yee, gue belum selesai ngomong udah dipotong aja. Gue narik nafas lagi. Kali ini lebih dalam. Sabaaar… Sabaaaaaaarrrrrrrrr…
“Begini Ibu, kebetulan penumpang kami saat ini full. Jadi bisa dipastikan, bagasi di kabin juga full. Saya gak mungkin memindahkan barang penumpang lain yang lebih dulu meletakkan barangnya disitu. Saya sarankan, kalau Ibu tidak ingin kejadian yang sama terulang, Ibu masuk pesawat duluan,” gue sengaja menekankan kata ‘lebih dulu’ untuk menyentil si Ibu yang datang telat padahal kondisinya lagi delay 2 jam. “Jadi, apa saya bisa meminta kerjasama Ibu untuk meletakkan barang Ibu di nomor 12? Ibu masih bisa mengawasinya dari sini kok. Atau pilihan lainnya, ya koper Ibu kami bagasikan di bawah.”
“Di cargo? Ogah! Koper saya banyak barang berharganya!”
“Silahkan diambil dulu barang berharganya. Jadi kopernya bisa dibagasikan di cargo,” usul gue masih dengan senyum. Ayo? Mau ngelawan apa lagi Bu?? Rasanya gue pengen banget bilang 'Ibu mau barangnya yang dicargoin, atau Ibu yang saya cargoin?'
“Gak bisa! Koper saya aja mahal harganya! Semuanya berharga! Pokoknya saya gak mau dibagasikan atau ditaruh dinomor 12!” duuhh, gemes banget gue!
“Wah, kalau begitu sayang sekali. Saya terpaksa menginfokan kepada pihak security dan awak pilot kami untuk kemungkinan Ibu diturunkan dari penerbangan ini. Tindakan Ibu bisa dianggap membahayakan keselamatan penerbangan lo, Bu. Bukan hanya keselamatan Ibu, tapi keselamatan penumpang disamping Ibu,” putus gue akhirnya. Gue memang gak bakal tega menurunkan si Ibu walaupun kami, para pramugari berhak untuk itu. Tapi ya mau gimana lagi? Gak ada salahnya sedikit menggertak.
“Hah? Ngg… ya udah! Ya udah! Tapi saya gak mau naroh koper saya, berat! Terus, saya mau nanti pas udah mendarat, Mbak ambilin lagi koper saya!” jawab si Ibu akhirnya, walaupun masih dengan nada menyebalkan. Gue sebenernya mau menolak, karena angkat koper penumpang gak termasuk dalam job desk seorang pramugari. Kami hanya membantu, bukan sendirian mengangkat barang penumpang. Jangan samakan kami dengan porter! Tapi mengingat waktu yang terus berjalan dan kalau permintaan si Ibu tidak diluluskan akan membuat delay berkepanjangan, dan itu tidak hanya merugikan gue, tapi perusahaan gue dan penumpang lainnya. Akhirnya dengan lemas gue mengiyakan perintah si Ibu.
“Baik Bu… terima kasih,” gue menggeret koper si Ibu dan mengangkatnya sendirian. Gue sedih banget. Gue serasa direndahkan. Ini sih sama aja kaya jadi porter. Bedanya gue kerja diatas, porter kerja dibawah. Ntah, rasanya keanggunan seragam gue gak telihat lagi.
Gue hanya ingin memastikan keselamatan penumpang, karena kita gak pernah tau kapan bencana itu datang. Tapi ini yang gue dapat.
Buat para pembaca, please… I beg to you, kalian boleh meminta pertolongan kami, dengan senang hati akan kami bantu. Tapi jangan pernah sekalipun merendahkan kami! Jangan pernah sekalipun mempermalukan kami dan menjatuhkan wibawa kami! Bagaimanapun, pada saat terburuk, kalian akan bergantung kepada kami. And please, don’t be such stupid to make yourself in danger!Jadilah penumpang yang cerdas dan mengerti peraturan. Peraturan dibuat, bukan untuk dilanggar!